Cinta adalah modal seorang sufi dalam menapaki kehidupan
spiritual. Oleh kalangan sufi cinta diistilahkan dengan mahabbah. Dalam tasawuf
mahabbah merupakan sebuah maqam (jenjang spiritual yang harus dilalui seorang
salik). Setiap hamba memiliki tujuan untuk mendapatkan mahabbah. Oleh sebab itu
Imam al-Ghazali menjadikan mahabbah sebagai puncak maqam.
Sebuah kisah dari Matsnawi, Jalaluddin Rumi mengisahkan,
suatu Ketika Nabi Musa sedang berjalan di padang rumput dan mendapati seorang
gembala kambing yang sedang beristirahat sambil berkata: Wahai Tuhanku aku
sungguh mencintaiMu. Aku akan melayaniMu sepuas hatiKu. Aku sayang Engkau. Aku
ingin sekali membelai dan menyisir rambutMu. Aku ingin sekali menyemir
sepatumu.Mendengar perkataan demikian Nabi Musa marah dan menasihati Si
penggembala kambing. Wahai penggembala kambing apa yang telah kau katakan telah
menodai derajat Tuhan. Kamu tidak pantas berkata begitu, karena Tuhan tidak
membutuhkan apa yang kau katakan. Si gembala menyeringai ketakutan. Sambil
memohon, penggembala itu berkata: Wahai Nabi Musa engkau yang lebih mengetahui
hubungan antara hamba dan Allah. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.
Yang jelas cintaku pada Tuhan melebihi cintaku pada apapun. Musa menjawab: Jika
begitu adanya bertobatlah kamu!
Seketika sipenggembala lari menuju hutan dan tidak kelihatan
mukanya selama beberapa hari. Beberapa saat kemudian Nabi Musa mendapat teguran
dari Allah. Seolah-olah Allah menyalahkan semua tindakan Nabi Musa yang
membentak penggembala kambing. Kemudian Nabi Musa mendengar suara tanpa kalimat
yang mengatakan:
Wahai Musa engkau telah memisahkan antara Aku dan hambaKu.
Pecinta dan Yang diCinta tidak dibatasi oleh kata-kata dan kalimat. Pecinta dan
Sang diCinta tidak terikat ikatan hukum dan formalisasi. Datanglah padanya
sampaikan salamku untukNya. Berbuatlah sesuka dia. Sesungguhnya Aku sangat
mencintai dan ridla padanya.
Mendengar Allah berkata demikian Nabi Musa dengan kontan
meminta ampun dan langsung mencari si penggembala kambing ke padang rumput
tempat biasa sang penggembala mengembalakan kambingnya. Tetapi Nabi Musa tidak
menemukan si Penggembala.
Lama dia mencari hingga berhari-hari hingga ia menemukan si
penggembala di dalam hutan dalam keadaan bersedih. Dia merintih sedih tidak
bisa meluapkan rasa kasihnya kepada Tuhan. Lalu Nabi Musa mendekatinya. Wahai
penggembala kambing sesungguhnya Allah telah berfirman kepadaku. Berbuatlah
sesukamu karena Allah mencintai dan ridla kepadamu.
Hikmah
Dari cerita ini menjelaskan kepada kita bahwa cinta adalah
kedudukan seorang hamba yang mengenal Tuhannya. Ia tidak terikat aturan atau
sekat lainnya. Karena cinta merupakan essensi kedekatan seorang wali.
Kitapun bisa melihat sosok sufi wanita yang memiliki cinta
mendalam kepada Allah swt. Dia adalahRabi'ah al-Adawiyyah. Cintanya kepada Alah
mengalahkan cintanya kepada apapun. Cintanya kepada Allah adalah cinta buta.
Dia tidak merasa kesepian walaupun hidup sebatang kara. Dia tidak merasa
sengsara walaupun hidupnya penuh dengan penderitaan. Dia selalu riang gembira
karena hati dan jiwanya selalu terkiblat pada Allah swt. Keriang-gembiraannya
ini dibarengi juga dengan kesedihan ratapi, karena selalu merasa menjadi hamba
yang kurang dan penuh dengan dosa. Dengan demikian rasa cintanya berbarengan
dengan rasa takut kepada Allah swt. Rabi'ah membagi cinta kepada Allah swt itu
dua tingkatan:
1. Cinta_rindu
2. Cinta karena Allah lah yang pantas dicintai
Imam al-Ghazali menafsirkan cinta rindu
Beliau berpendapat, bahwa cinta yang dialami Rabi'ah pada
tingkat ini adalah tingkatan awal (masih dalam taraf awam). Yang dimaksud
dengan cinta rindu adalah cinta kepada Alah yang disebabkan karena kesadaran
berterimaksih sebab Allah swt telah memmberikan karunia yang sangat besar
kepadanya. Untuk itu dia wajib berterimaksih kepada Allah swt. Dengan
berterimakasih kepada Allah, maka akan menimbulkan rasa simpatik dan cinta
kepada Allah swt. Kesimpulannya cinta rindu diakibatkan rasa terimakasih.
Sedangkan cinta karena Allah yang patut untuk dicintai
adalah pengalaman cinta Rabi'ah yang memuncak. Pengalaman seperti ini sudah
menapaki jenjang paling tinggi yang tidak dialami oleh orang awam. Pada taraf
ini Ke jamal-an (keindahan Tuhan) dan ke-Kamal-an (kesempurnaan) Tuhan tersibak
dan dapat disaksikan oleh seorang sufi. Dan ketika sufi mengalami hal seperti
ini ia akan merasa bahwa semua selain Allah adalah nisbi, buruk, jelek dan
tidak berguna. Yang baik, agung, cantik, indah, sempurna dan selalu memberikan
manfaat hanya Alah semata saja. Orang yang mendapatkan mahabbah ini tidakakan
memperhatikan keuntungan, kerugian, kesedihan, kegembiraan dan lain sebagainya.
Hidupnya hanya ditujukan dan diorientasikan kepada Allah semata.
Rabi'ah al-Adawiyyah pernah berkata: Ya Allah jika aku
beribadah kepada-Mu karena takut siksa neraka, maka bakarlah aku didalam api
neraka! Jika aku beribadah kepada-Mu karena mengharap sorga, maka jauhkanlah
aku dari sorga-Mu! Tetapi jika aku beribadah kepada-Mu karena Engkaulah yang
layak untuk disembah, maka jangan sembunyikan keindahan Wajah-Mu!
Dari kata-kata Rabi'ah ini dapat disimpulkan bahwa hidup dan
matinya Rabi'ah hanya untuk sosok yang Dicintai. Sosok itu adalah Allah swt.
Ibadahnya tidak mengharapkan apapun. Dia hanya ingin memandang, berdekatan dan
berusaha selalu membuat ridla, suka dan senang sosok yang dicintainya.
Cinta semacam Rabi'ah kepada Allah swt mengalahkan cinta
kepada selain Allah. Hingga suatu ketika ada seorang laki-laki datang
melamarnya (menurut riwayat beliau adalah Sofyan ats-Tsauri). Namun Rabi'ah
menolak lamaran tersebut.beliau berkata: Jika engkau hendak menikahiku, maka
mintalah izin kepada Allah karena akumilik Allah.
Kecintaan Rabi'ah terhadap Allah melupakan segala macam
kesengangan duniawi, bahkan untuk menikahpun beliau menolak untuk melakukannya.
Hal seperti ini yang dianggap oleh banyak kalangan sebagai cinta mati. Suatu
ketika beliau ditanya oleh seseorang: "Ya Rabi'ah apakah engkau mencintai
nabi Muhammad?" beliau menjawab: Aku mencintai Nabi Muhammad tetapi
cintaku kepada Allah melupakan cintaku kepada makhluk.Cinta yang diungkapkan
Rabi'ah menyiratkan bahwa cinta kepada Allah diatas segala cinta, termasuk
cinta kepada Nabi. Hal ini berbeda dengan konsep cinta Zun Nun al- Mishri,
justru beliau menyatakan cinta kepada nabi Muhammad harus dimiliki oleh setiap
sufi. Dan cinta kepada Nabi Muhammad sejajar dengan cinta kepada Allah. Karena
cinta kepada Nabi akan menimbulkan ketauladananan dari Nabi.
Tidak jauh berbeda dengan Rabi'ah, Zun Nun al-Mishri pun
memiliki konsep cinta (Mahabbah). Menurutnya Cinta itu terbagi menjadi tiga
tahapan. Tahapan pertama seseorang harus mencintai para ulama. Karena para
ulama adalah warosatul al-ambiya (penerus para nabi). Jika seseorang mencintai
para ulama ia akan meneladani para ulama. Setelah itu ia meneladani para ulama
maka akan menimbulkan kecintaan kepada Rasulullah saw. Jika seseorang sudah
mencintai Rasulullah, maka ia akan meneladani perilakuRasulullah saw. Dan jika sudah
meneladani perilaku Rasulullah maka cinta kepada Allah akan timbul seperti
cintanyaRabi'ah.
Zun-Nun al-Mishri, diriwayatkan meninggal dunia karena
cinta. Diceritakan pada sebuah jamuan pertemuan para pembaca sima Zun Nun
membaca puisi cinta sambil fana'(hilang kesadarannya karena ditarik dengan
kesadaran ilahi). Ia membaca puisi cinta hinggga keluar ruangan dan pergi ke
hutan bambu yang telah ditebas pohon-pohonnya. Kakinya tertusuk patahan-patahan
bambu sampai infeksi. Tetapi beliau tidak merasakan sakit. Yang dirasa hanya
rasa riang dan gembira karena cintanya kepada Allah. Sementara infeksi kakinya
menyebar sampai ia menemui ajalnya. Dengan demikian cinta yang dialami Zun Nun
dapat mengenyahkan rasa sakit jasmani.
Dari teori cinta (mahabbah) agaknya kita sebagai seorang
muslim harus memiliki sebuah ambisi untuk mendapatkan maqam ini. Karena
orientasi seorang hamba adalah mengenal, mencinta, berdekatan, bermesraan dan
bersatu dengan Sang Maha Cinta, Allah swt.
Allah SWT berfirman yang artinya:
Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu
yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang
Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut
terhadap orang yang mumin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang
berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka
mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya,
dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS al-Maidah: 54)
Ayat diatas menerangkan bahwa Allah swt menurunkan kaum yang
memiliki cinta. Cinta adalah sebuah rasa atau keadaan jiwa yang dapat
menadamaikan kehidupan. Cinta yang hakiki adalah cinta kepada dan berdasarkan
Allah swt. Konsep cinta di dalam Islam hanya terdapat pada doktrin
sufisme/tasawuf. Doktrin ini dinamakan dengan mahabbah.
Selanjutnya dalam al-Qur'an selalu ditekankan kepada
orang-orang yang beriman untuk mensucikan jiwa agar hubungannya dengan Tuhan
berjalan lancar. Proses penyucian ini dalam tasawuf dinamakan dengan tazkiyatun
nafs. Al-Qur'an membicarakan hal ini dalam ayat berikut:
Nabi juga bersabda dalam sebuah hadits qudsi mengenai
kewalian, yaitu:
Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku umumkan
permusuhan-Ku terhadapnya. Tidak ada sesuatu yang mendekatkan hamba-Ku kepada
yang lebih Ku-sukai dari pada pengamalan segala yang kufardlukan atasnya.
Kemudian, hamba-Ku yang senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan
melaksanakan amal-amal sunah, maka Aku senantiasa mencintainya.
Bila Aku telah jatuh cinta kepadanya, jadilah Aku
pendengarannya yang dengannya ia mendengar. Aku penglihatannya yang dengannya
ia melihat. Aku tangannya yang dengannya ia memukul. Aku kakinya yang dengan
itu ia berjalan. Bila ia memohon kepada-Ku, Aku perkenankan permohonannya.
(Wallahu a'alm)
Dikutip dari :
http://ngajiislam.blogspot.com/2010/07/cinta-menurut-kajian-tasawuf.html